Sabtu, 25 Agustus 2012

Fakta-fakta yang Dialami si Perokok Pasif




Menjadi perokok pasif memiliki risiko kesehatan yang hampir sama bahanya dengan perokok aktif. Menurut WHO, kematian yang menimpa perokok pasif di dunia mencapai 600.000 jiwa setiap tahunnya.

Berikut adalah 9 fakta yang harus Anda ketahui tentang perokok pasif, seperti dilansir health.india, Kamis (19/7/2012) yaitu:

1. Anda dapat menjadi perokok pasif ketika Anda menghirup udara yang telah tercemar oleh asap produk tembakau dimanapun Anda berada.

2. Pada orang dewasa, perokok pasif dapat menyebabkan penyakit jantung dan pernapasan yang serius, termasuk penyakit jantung koroner dan kanker paru-paru. Bayi yang menjadi porokok pasif dapat menyebabkan kematian mendadak dan pada wanita hamil akan menyebabkan berat lahir bayi yang rendah.

3. Sekitar 40 persen dari anak-anak yang menjadi perokok pasif, umumnya terpapar asap rokok di lingkungan rumah. Sebanyak 31 persen kematian yang diakibatkan oleh perokok pasif terjadi pada anak-anak.

4. Remaja yang menjadi perokok pasif di lingkungan rumahnya, meningkatkan keinginan untuk mulai merokok sampai dua kali lipat lebih besar dibanding remaja lain yang tidak menjadi perokok pasif.




http://mrsupel.blogspot.com/2012/07/fakta-fakta-yang-dialami-si-perokok.html

Ayana "JKT48" Bisa Tidur 22 Jam

  Ayana Shahab, salah satu personel idol group JKT48

Ada personel idol group JKT 48 yang punya hobi unik, lho. Dia adalah Ayana Shabab. Coba Anda tanyakan apa hobinya. Hanya satu kata yang bakal keluar dari mulutnya.



"Tidur," jawabnya saat Hai menanyakannya. "Aku itu suka banget tidur, bahkan aku juga pernah lho tidur sampai 22 jam," cerocos personel yang punya julukan A Chan ini.

Ternyata, hobi gampang tidurnya ini juga diakui oleh para personel lainnya. Diasta bahkan bilang bahwa dia suka bingung menghadapi Ayana kalau sudah tidur. "Dia susah banget dibangunin kalau udah tidur, padahal udah digoyang-goyangin," kenang Diasta.

Wah, wah, jangan-jangan Ayana ini putri di cerita The Sleeping Beauty.




http://blogger-botter.blogspot.com/2012/08/ayana-jkt48-bisa-tidur-22-jam.html

Rabu, 22 Agustus 2012

The Bookstore Girl {One Shot}

Selamat malam, pemirsa! gue balik lg nih, bawa ff baru :p hehe tenang aja kok! one shot! cuma.. yah karena gue masih amatiran gue nggak tau ceritanya bagus apa nggak._. maaf yah.. ngmng2 gue lg nggak ada mood buat cerita panjang lebar, jadi langsung aja ya, nikmati ff ini! dont forget to comment!
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
The Bookstore Girl
Author: Zasmine
Genre: Romance, shoujo
Rating: Teen
Length: One Shot
Characters:
Daniel Zueno
June Shiorra
Gadis itu berjalan memasuki toko buku langganannya. Kakinya langsung tertuju pada rak komik. Ia mengambil salah satu komik yang menarik minatnya. Senyumnya mengembang begitu selesai membaca sinopsis komik itu. Ia segera mengambil tas yang disediakan oleh toko buku untuk meletakkan buku yang dibeli dan mengambil buku itu. Gadis itu lalu berjalan-jalan lagi ke rak-rak komik lainnya.
*~*~*
“Daniel!” aku menoleh. Rio tengah berjalan sambil membawa buku latihan matematikanya padaku sambil tersenyum. Senyum khas kalau dia lagi pengen nyontek pr-ku.
“Apa?” jawabku ketus.
“Pinjem buku pr matematik lo dong~” Rio mencubit-cubit pipiku sambil memelas.
Aku berdecak lalu mengeluarkan buku pr matematikaku di loker meja. Kuserahkan buku itu pada Rio.
Thanks ya bro.” Rio menepuk pundakku. Ia menarik kursi dan mulai menyalin di mejaku. Pandanganku kembali tertuju pada lapangan sekolah.
“Oh ya, bro.” Rio mengangkat kepalanya dari buku. “Gimana tuh, sama si cewek toko buku?” tanya Rio senyam-senyum.
Aku menghela nafas. “Gimana apanya?”
“Gimana perkembangannya dodol! Lo bilang kan, lo suka ama dia!” Rio memukul meja pelan. Meski begitu, banyak orang yang langsung menoleh. Aku buru-buru menutup mulut Rio yang ember ini.
“Bego lo! Jangan teriak-teriak dong!!” aku memperingatkan. Aku pun tersenyum pada teman-teman sekelas yang melihatku dan Rio bingung. “Sorry, dia lagi rada sinting. Nggak usah peduliin kita, maaf ganggu.” Aku pun segera menyeret Rio keluar dari kelas.
“Aduduh, nggak usah ampe marah gitu dong, Dan.” Rio terkekeh sambil tersenyum lebar menunjukkan giginya.
“Elo…” aku menghela nafas. Heran juga, kenapa aku bisa punya temen kayak dia. “Makanya elo jangan teriak-teriak di kelas. Bisa-bisa entar ada gossip tentang gue lagi. Gue males masuk koran sekolah mulu. Digosipin ini-itu. Trus elo tau kan, fans gue rata-rata cewek? Nyeremin? Bisa-bisa mereka nanyain gue tiap hari tentang kayak gossip waktu gue dikira pacaran sama Winda, padahal gue cuma ngobrol ngomongin kegiatan OSIS doang ama dia.”
Oh ya, nama lengkapku Daniel Zueno. Emang namanya rada aneh ya? Yah, mau aneh juga toh itu Nyokap yang buat jadi harus di hormati. Di sekolah, bisa dibilang aku ini cowok yang lumayan popular. Nggak tau juga sih kenapa aku bisa popular. Mungkin gara-gara wajahku? Kata anak-anak lain sih aku termasuk cowok yang keren, ganteng, dan banyak yang minat.
Rio terkekeh. “Haha, emang derita elo jadi orang popular yang miris!” ejek Rio puas.
Aku mengerutkan dahi, menatap tajam Rio.
“Eh iya, elo udah dapet info tentang tuh cewek?” Rio kembali bertanya tentang gadis toko buku itu.
Gadis.. yang membuatku tertarik. Sebenarnya aku sama sekali tidak kenal dia. Cuma waktu itu, aku tanpa sengaja melihatnya sedang lihat-lihat buku di rak-rak komik. Sepertinya gadis itu sedang mencari sesuatu. Kukira dia sedang kesusahan, jadi aku berniat mendekatinya dan membantu mencari yang ia cari. Tapi sebelum sempat menyapanya, mata gadis itu tertuju pada sebuah komik. Ia langsung mengambilnya dan menatap komik itu dengan mata berbinar. Senyumnya yang mengembang entah kenapa saat itu membuat jantungku berdegup kencang. Gadis itu tampak sangat menikmati mencari-cari buku yang ia ingin. Saat itulah kusadari, aku jatuh cinta padanya pada pandangan pertama.
“Niel… DANIEL!” teriak Rio menyadarkan lamunanku.
“Eh, sorry, kenapa?” tanyaku, agak kaget. Ya jelas kaget, orang lagi melamun diteriakin.
“Lo ini! Gue tanyain malah bengong! Pasti lagi mikirin dia ya? Ayoo.. kasih tau info dia sama gue. Entar siapa tau gue bisa jadi love cupid lo.” Rio terkikik geli. Dari wajahnya sih, aku tau kalo dia punya rencana terhadap ini.
Aku menghela nafas. “Nama aja gue nggak tau, Ri.”
Rio melongo. Aku menatapnya dengan tatapan reaksi-lo-kelewat-lebay. “Serius lo, Dan? Gue kira elo.. udah tau nomor teleponnya!”
“Ya kagaklah! Ngapain amat?” aku menyenderkan punggungku pada dinding kaca yang menghadap ke gerbang sekolah dan bersedekap.
Rio menggeleng-gelengkan kepalanya. “Nggak heran cewek sini lebih milih orang luar.. cowoknya aja kagak pedulian begini!” Rio berdecak-decak.
“Emang gue harusnya ngapain?”
“Yaaa.. paling nggak ajak dia ngobrol? Lo sapa kek, ajakin temenan, terus tukeran nomor hp, ato minta pin bb kek kalo dia punya bb.” Rio nyerocos panjang lebar. Yah, Rio Ferardi—alias teman dekatku ini paling jago ngedeketin cewek. Tampangnya oke, otaknya? Kalo soal cewek langsung mudeng giliran pelajaran nilai di bawah kkm semua, tapi kalo pelajaran olahraga dia jagonya. Bisa dibilang Rio ini juga cukup popular kayak aku. Kami juga sering dibilang ‘cowok tampan satu paket dari kelas 3-5’.
“Boro-boro ngobrol, Ri. Nyapa aja gue blom pernah. Paling cuma ngeliatin dia.” Memang benar, aku belum pernah menyapa cewek itu sebelumnya. Hanya melihatnya dari jarak jauh. Tapi bukankah kalau dilihatin orang pasti dia menyadari ya? Herannya, dia sama sekali nggak menyadarinya. Dia sibuk sama komiknya.
“Udah yuk, masuk,” ajakku berjalan ke kelas akhirnya. Kenapa jadi ngobrol panjang-lebar gini coba. Untung di kelasku gurunya lagi nggak masuk.
“Ya udah! Tapi entar sepulang sekolah ajak gue ke toko buku itu ya! Gue pengen liat kayak gimana ceweknya!” Rio mendorong pundakku. Aku agak terhuyung ke belakang karena dorongan Rio yang pemain basket ini lumayan keras.
BRUK!
Tanpa kusadari aku menabrak seseorang yang sedang berjalan di belakangku. Aku buru-buru berbalik untuk meminta maaf pada orang itu. “Sori tadi gue—“
Seorang gadis berambut pendek bergelombang dengan poni ke samping yang kacamatanya agak miring—gara-gara ditabrak olehku—membenarkan kacamatanya dan menatapku. “Nggak papa kok.” Ia lalu berjalan meninggalkanku yang masih bengong begitu saja.
   Tunggu, gue yakin tadi itu…
“Woi! Ngapain bengong sih lo?” Rio memukul pundakku dan membuyarkan lamunanku. Ia terkikik geli begitu melihat mukaku. Rasa iseng mulai menyelimuti benaknya. “Napa lo? Terpesona ama cewek tadi?” katanya cekikikan.
“I.. ya..”
Mata Rio melebar. Ia menatapku lekat-lekat. “Hah? Serius lo?! Bukannya lo suka—“
“Lo nggak perlu datang ke toko bukunya, Ri.”
“Lah, kenapa?”
“Karena lo baru aja liat dia tadi.”
“HAH?” Rio mengerutkan dahi, ia berpikir sebentar. Sedetik kemudian ia mengerjapkan mata tak percaya. “Dan! Jangan-jangan cewek yang lo taksir itu…”
“Iya, cewek yang ketabrak sama gue tadi!” lanjutku membalikkan badan dan mengguncang-guncangkan tubuh Rio.
*~*~*
Aku berjalan menuju toko buku langgananku sepulang sekolah. Siapa yang kira kalau Daniel Zueno ternyata suka baca? Sebenarnya buku yang kubaca pun buku-buku mengenai pesawat tempur. Ya, aku menyukai pesawat. Fans berat malah.
Begitu masuk ke dalam toko, tanpa sadar mataku langsung tertuju pada rak-rak komik. Aku langsung tersenyum begitu mendapati cewek itu sedang berdiri melihat-lihat komik. Dia sendiri juga masih pakai seragam, sepertinya juga baru pulang sekolah.
Kulihat setelah mengambil beberapa buku, ia pergi ke kasir dengan senyum yang masih menghiasi wajahnya. Tampaknya mbak-mbak kasir itu pun juga mengenal cewek itu soalnya ia sempat mengajak cewek itu mengobrol.
Begitu ia pergi dari toko buku, aku berjalan menghampiri rak buku yang ia lihat tadi. Kalau nggak salah buku ini… pikirku mengambil sebuah komik cewek. Kubaca judulnya berikutnya kubalik komik itu dan kubaca sinopsisnya. Begitu kulihat-lihat lagi, ternyata buku ini sudah sampai buku kelima. Apa gue beli aja ya? Jadi penasaran?
Aku pun menoleh ke kanan dan ke kiri. Melihat apakah situasi aman atau tidak. Beruntungnya, hari ini toko bukunya lumayan sepi! Buru-buru aku mengambil tas yang tersedia dan memasukkan kelima volume komik itu ke dalam. Kakiku langsung melangkah menuju kasir.
Aku memberikan tas itu pada mbak-mbak kasir. Begitu ia melihat kalau yang kubeli komik cewek semua dia langsung menatapku sambil menahan tawa.
“I-ini buat adik saya kok!” sahutku buru-buru.
“O-oh.. maaf,” ia berdeham. “Hanya ini saja?”
Aku mengangguk. Kukeluarkan dompetku sementara mbak-mbak kasirnya mengecek harga komiknya. “Delapan puluh dua ribu lima ratus.”
Kuambil dua lembar lima puluh ribu. Ternyata komik mahal juga ya?
“Terima kasih,” kata mbak-mbak itu sembari memberikan kantung plastiknya padaku. Aku mengambilnya dan berjalan keluar dari toko buku.
*~*~*
“Aaah! Gue sama sekali nggak ngerti gimana bacanya!” teriakku mengacak-acak rambutku. Setelah mencoba baca aku sama sekali nggak ngerti ceritanya. Kutebak karena aku nggak ngerti darimana bacanya.
Ceklek. Pintu terbuka. Adikku, Daniella, atau bisa kupanggil Ella nongol di depan pintu. Ella berumur empat belas tahun, beda tiga tahun denganku. Matanya langsung menangkap komik cewek yang sedang kubaca. Detik berikutnya ia tertawa terbahak-bahak begitu melihatku sedang membaca komik cewek.
“HAHAHAHA! Kakak ngapain sih?! Ganti hobi nih ceritanya? Dari baca buku tentang pesawat sekarang baca komik cewek?! HAHAHA! Aku sama sekali nggak nyangka loh Kak!!” tawa Ella masih terbahak-bahak.
“Heh! Berisik lo! Gue sama sekali nggak ganti hobi kok. Cuma penasaran, apa sih serunya baca komik ini sampe-sampe tuh cewek seneng banget gitu?” aku mengerutkan dahi sambil membolak-balikkan halaman-halaman berikutnya.
Ella menutup pintu kamarku dan duduk bersila di depanku. Ia mengambil salah satu komik yang sedang kubaca. Ella pun mencoba membacanya. Kutatap Ella lekat-lekat. Sepertinya dia mengerti cara bacanya dan ceritanya.
“Hmm.. gini Kak, bacanya dari kanan ke kiri.” Ella duduk di sebelahku dan mulai menjelaskan. Aku mengangguk-angguk mengerti begitu Ella bertanya ‘paham?’
“Oh.. gitu..” ujarku mengangguk-angguk setelah Ella menjelaskan panjang lebar. “Thanks ya, La.” Aku mengusap-usap kepala Ella.
“Sama-sama.” Ella meletakkan komik itu di depannya. Ia lalu senyam-senyum padaku yang sedang mencoba membaca komik.
“Apa?” tanyaku risih.
“Tuh cewek yang Kakak sebut tadi siapa?” tanya Ella membuatku terlonjak kaget. Sial. Kukira dia nggak sadar tadi aku bilang ‘tuh cewek’. Padahal aku sendiri juga baru sadar.
“T-tuh cewek yang Kakak maksud itu… emm.. temen gue! Temen gue kok,” jawabku berbohong sambil cengangas-cengenges.
“Alah, jangan bohong deh Kak. Aku tau persis muka Kakak kalo bohong tuh kayak gimana. Pasti tuh cewek maksudnya cewek yang Kakak taksir kan?” Ella memeletkan lidahnya. Rasa puas menyelimuti benaknya begitu aku mengangguk pasrah. “Nah, jujur aja dong. Tenang aja Kak, aku juga udah punya pacar kok. Jadi, gimana tuh cewek? Namanya siapa?”
“Kakak nggak tau namanya.” Aku menghela nafas. “Oh, ternyata kamu udah punya pacar toh..” aku mengerutkan dahi. Sebentar, tadi Ella bilang apa? “LA!!” teriakku baru sadar. “Elo udah punya pacar?!”
“Hah? Iya, kan tadi barusan aku bilang.” Wajah Ella berubah merah, ia tersenyum menunjukkan giginya.
“Siapa namanya?! Gimana orangnya?! Baik nggak?! Udah berapa lama lo pacaran ama dia?! Udah pernah… pernah ciuman?!”
BUGH!
Ella memukulku tepat di kepala. Aku mengusap-usap kepalaku yang agak sakit. “Hei—“
“Namanya Gio, orangnya baik banget malah, emm.. aku pacaran ama dia sekitar.. lima bulan yang lalu, terus kalo masalah ciuman…” Ella terdiam. Ia menundukkan kepala dalam-dalam. Lalu tiba-tiba ia mendongak dan menatapku tajam. “Kok jadi aku yang cerita?! Kakak dong, cerita kayak apa cewek yang Kakak taksir! Walaupun kudengar Kakak popular di sekolah, tapi boro-boro first kiss, punya pacar aja belom pernah!”
Aku sudah siap menjitak kepala Ella, tapi kuurungkan niatku karena ucapan Ella memang betul sepenuhnya. Aku memang popular, tapi aku belum pernah punya pacar sebelumnya. Dan bisa dibilang cewek yang di toko buku ini cinta pertamaku. Haha, aneh ya?
“Yaah.. gini deh, gue ceritain,” kataku pasrah. Ella berseru pelan.
Akhirnya, aku pun menceritakan kejadian dengan cewek toko buku itu. Lagi-lagi Ella tertawa terbahak-bahak begitu selesai mendengar ceritaku. Heran, ni anak ketawa mulu. “Hahaha! Ya ampun, Kak.. Kak.. nggak kusangka lho Kakak tuh orangnya polos banget!”
“Ah, berisik lo La!” aku mengacak-acak rambut Ella. “Ya terus gimana dong? Gue pengen sih, nyapa dia cuma.. nyapanya gimana?”
“Kata Kakak dia satu sekolah sama Kakak? Kalo kayak gitu besok sepulang sekolah sapa aja Kak di toko buku! Kan dia dateng tiap hari kan? Yaa bilang aja kek, ‘eh! Lo anak SMA Charles ya? Nama lo siapa? Kelas berapa?’ trus entar Kakak coba temenan aja ama dia. Trus kalo udah deket minta nomor telepon ato pin bb.” Ella menjelaskan panjang lebar.
Aku menggeleng-gelengkan kepala. As expected of Ella, di sekolahnya cewek ini termasuk cewek yang popular juga, sama sepertiku. Dia pintar, cantik, easy going, gampang bergaul, dan baik. Dan ternyata idenya sama seperti Rio=_=
Aku pun menghela nafas. “Ya udah, makasih ya, La. Lo keluar dulu gih sana gue mau coba baca ni komik.”
Ella mengangguk dan beranjak berdiri. Ia berjalan menuju pintu. Sebelum keluar, Ella mengedipkan sebelah matanya dan berkata, “kalo udah selesei baca, ntar aku pinjem ya Kak! Kayaknya bagus sih!”
“Iyaaa..”
“Oke deh, good luck ya Kak!” Ella pun menutup pintu.
Komik itu pun segera kubaca. Setelah Ella menjelaskannya tadi, aku jadi mengerti alur ceritanya. Kalau dipikir-pikir cerita ini memang menarik untuk cewek.
Pukul 19:34…
“Argh! Cliff hanger!” seruku tanpa sadar. Begitu aku ingin mengambil volume berikutnya, ternyata yang kubaca tadi sudah volume lima. Harus nunggu.. pikirku meletakkan komik itu di sebelahku. Hmm.. menurutku lumayan juga sih ceritanya. Gimana ya, reaksi tuh cewek pas baca?
Kriing! Kriing! Hp-ku berbunyi. Aku berdiri dan mengambil hp-ku di meja belajar. Kubaca nama yang tertera di layar. Rio Yang Ganteng. Sejak kapan ni anak nge-edit namanya di address book gue? Aku mengerutkan dahi lalu menekan tombol bergambar telepon hijau.
“Ya, halo?”
Yo masbro!” sapa Rio terdengar semangat dari seberang.
“Heh, kapan lo nge-edit nama lo jadi ‘Rio Yang Ganteng’?” tanyaku langsung.
Oh itu..  baru tadi kok,” jawabnya cekikikan. Dasar..
“Ya udah, ada urusan apa lo nelpon gue?”
Emang gue harus ada urusan dulu kalo nelpon lo? Gue kan juga bisa merasa kangen sama lo, Daniel…” suara Rio terdengar di cewek-cewekin. Haduh, gue jadi bener-bener heran kenapa bisa punya temen yang sintingnya kelewatan gini.
“Heh! Langsung aja deh lo, nggak usah basa-basi.” Aku memijat keningku.
Hahaha.. ocay sayangg..” aku langsung merinding bulu kuduk sementara di seberang sana Rio berdeham. “Emm.. gue dapet info tentang cewek tadi.” Aku langsung tertegun.
“Hah? Darimana?” bodoh, seharusnya aku tau Rio tuh punya koneksi sama siapa aja. Sekali liat mukanya ato namanya, dia bakal tau informasi yang cukup lengkap tentang orang itu.
   Adek kelas kenalan gue ada yang satu kelas ama dia. Dia masih kelas satu, Dan. Kelas 1-3. Orangnya pendiem, nggak pernah senyum, nggak punya temen, kemana-mana sendiri, tapi dia pintar dan ditunjuk sebagai ketua kelas. Rio menjelaskan panjang lebar.
Kalau dipikir-pikir, sifatnya di sekolah dan di toko buku sangat berbeda. Contohnya, saat aku menabraknya dia terlihat sangat datar. Seolah dia sama sekali nggak punya perasaan. Tapi begitu di toko buku, wajahnya selalu terlihat senang, perasaannya meluap, senyumnya nggak pernah lepas dari bibirnya.
“Hmm.. tapi di toko buku dia nggak kayak gitu kok?”
Mungkin karena dia lebih tertarik baca komik dibanding bertemen?” duga Rio. “Oh iya, namanya…
“Nggak usah, Ri.” Aku memotong cepat-cepat. Sebuah senyum terulas di bibirku. “Gue pengen tanya langsung ke orangnya siapa nama dia.”
Rio tersenyum di seberang sana. “Bagus, good luck ya!
Tuut.. tuut.. tuut..
Aku mendengus. Makasih, Ri.
*~*~*
Sepulang sekolah, toko buku…
Pintu otomatis terbuka dan aku melangkah masuk ke dalam toko buku. Mataku langsung tertuju pada rak-rak komik. Cewek itu ada disitu. Lagi-lagi senyumnya mengembang. Rasanya gue nggak percaya kalo dia orang yang dingin.
Kakiku pun melangkah mendekatinya. Oke, berpura-pura sedang mencari sesuatu, pikirku. Aku sudah merencanakan ini tadi malam. Sebenarnya, jujur saja aku ini orangnya agak pemalu. Mungkin di mata orang lain tidak karena aku sering bicara blak-blakan pada Rio. Kalo sama Rio sih, nggak apa karena aku sudah kenal dekat dengan orang aneh itu.
Aku pura-pura menoleh ke kanan dan ke kiri, pura-pura mencari sesuatu. Lalu aku pura-pura tak sengaja melihat cewek itu. Kutepuk pundaknya pelan, ia menoleh.
“Eh! Elo anak SMA Charles ya?” tanyaku pelan, kuusahakan suaraku tidak terdengar bergetar dan mencoba tenang karena sebenarnya dalam hati aku begitu gugup.
“Iya,” jawabnya singkat dengan ekspresi datar.
Lho? Ekspresinya berubah? “Oh.. kelas berapa? Nama lo siapa?”
“1-3. Nama gue.. June Shiorra.” Ia berbalik dan berjalan meninggalkan rak komik, pergi keluar dari toko buku. Aku terus melihat sosoknya yang pergi dari toko buku sampai pintu otomatis itu tertutup lagi. Senyumku mengembang, kulangkahkan kakiku keluar dari toko buku. Ternyata namanya June Shiorra!
*~*~*
“Yap, bener! Namanya June Shiorra.” Rio menjentikkan jarinya begitu aku memberitahunya tentang nama cewek itu. Kami sedang makan di kantin. Sekarang lagi jam istirahat.
“Namanya jarang juga ya, Ri?” aku senyam-senyum sendiri sambil mengaduk-aduk mie ayam pesananku.
“Iya, nama Shiorra-nya kedengaran agak jepang-jepang gitu. Tapi kalo lo liat mukanya, mukanya Indo tulen.” Rio meminum es teh manisnya sambil mengotak-atik hp. Biasanya, kalo istirahat Rio mainan hp ngajakin ngobrol cewek-cewek yang nyapa dia di bbm.
“Oh ya, terus elo mau gimana sekarang?” tanya Rio tiba-tiba.
Aku tertegun. Mau gimana? Gimana apanya? Aku menoleh pada Rio sambil mengerutkan dahi. “Gimana apanya?”
Rio menghela nafas sambil memijat keningnya. “Udah gue duga setelah ini lo nggak tau mesti ngapain…”
“Ya emang gue mau ngapain lagi?”
“Ya lo ajak ngobrol lagi dialah! Gimana sih? Lo jadi cowok kenapa tolol-tolol amat, hah? Trus abis lo ajak ngobrol, minta pin bb-nya!”
Kusadari semangatku kembali muncul. Benar juga apa kata Rio. Aku harus mengajak June ngobrol dan dapat pinnya! Lalu siapa tau kan, aku bisa jadi temen pertamanya? Lalu kita jadi dekat dan jadi best friend. Lalu setelah itu mungkin bisa lebih dari itu?
“Gue bakal ngajak dia ngobrol entar!” aku mengacungkan sumpit kayuku tinggi-tinggi, bersemangat.
Rio mendengus dan tersenyum. “Bagus! Semangat, Dan! Jadikan dia milikmu seutuhnya!”
“Hahaha! Iya, iya!” aku menepuk-nepuk punggung Rio. “Oh iya, gue kelupaan harus ngasih tugas kimia!” aku menepuk jidatku. Baru ingat kalau tugas yang kemarin nggak selesai, harus dikumpulin paling lambat istirahat kedua ini.
“Mampus lo entar bisa digebukin Pak Haris!” bukannya membantuku Rio malah mengejekku dan sibuk dengan hp-nya lagi.
“Cih,” aku berdecih dan beranjak dari kursi. Saat mau berjalan ke depan, tanpa kusadari aku menabrak seorang cewek. Lagi.
“E-eh! Sorry! Sorr— June?!” seruku begitu melihat cewek yang kutabrak adalah June. Kaget juga, baru tadi diomongin orangnya langsung muncul. Panjang umur.
June membenarkan letak kacamatanya. “Ah.. elo. Nggak papa kok.” Ia membereskan buku yang jatuh berserakan di lantai.
“Biar gue bantu!” aku pun ikut memunguti buku milik June yang jatuh. Banyak juga dia bawa bukunya. Mana buku pelajaran semua lagi. Saat aku berpikir begitu, sebuah buku terselip di antara buku sejarah dan buku fisika. Kupungut buku itu. Ini kan komik itu…?
SRAT!
June langsung mengambil buku itu dari tanganku. Wajahnya terlihat ketakutan, tangannya bergetar. Aku sendiri terkejut melihat reaksinya.
“Lo nggak—“
Sorry.” June segera mengambil bukunya dan berlari pergi dari kantin. Meninggalkanku yang masih kaget dengan posisi duduk berlutut.
“Heh, ditolak ya?” Rio tertawa begitu melihat kejadian tadi. Huh, dasar cowok ini.
Aku bangkit berdiri dan menepuk-nepuk celanaku karena debu lantai. “Siapa yang nembak emang?” aku mendengus. Aku masih penasaran kenapa dia berwajah begitu. Apa entar gue tanya aja ya di toko buku?
“Yaah.. mungkin gara-gara lo liat komik itu tadi,” sahut Rio.
“Masa? Emang kenapa kalo gue liat?”
“Lo ini…” Rio menghela nafas. “Sebagian orang ada yang biasa saja kalo dia ketauan sering baca komik, nonton anime, ato game, tapi ada juga yang malu kalo ketauan. Contohnya ya June ini. Meski di sekolah dia terkenal sangat dingin, tapi bisa saja sebenarnya dia itu orang yang baik, tapi karena tidak gampang bergaul, dan pikirannya yang negatif berpikir dia yang sering baca komik tidak cocok dengan orang lain, dia jadi seperti itu. Saat-saat menyenangkan baginya hanyalah saat membaca komik. Karena dia merasa punya teman saat ia membaca. Seolah ia masuk ke dalam dunia itu. Seolah dia diterima disitu.” Aku kagum begitu Rio menjelaskan secara detil dan jelas padaku. Seolah dia benar-benar mengerti perasaan June.
“Kok lo bisa… ngerti banget perasaan dia?” tanyaku menyipitkan mata. Apa sebenarnya Rio dulu juga begini? Tapi masa sih? Setauku dia saat TK, SD, SMP, dan sekarang SMA dia adalah orang yang popular dan sama sekali tidak terlihat sebagai orang yang suka baca.
“Kakak gue dulu begitu.”
“Hah? Serius lo? Kak Marsya?” aku mengerjapkan mata nggak percaya. Gimana mau percaya? Kak Marsya, Kakak perempuan Rio ini sangat terkenal di SMA-nya! Dia juga seorang model majalah. Otaknya encer, cantik, baik, gaul, temennya segudang. Orangnya gampang diajak ngobrol.
“Iya, dulu pas SMP dia gila komik banget. Nggak cuma komik, anime juga. Kamarnya juga dulu penuh banget sama poster-poster anime.” Rio menerawang, mencoba mengingat-ingat. “Sampai suatu hari dia dateng ke kamarku, Kak Marsya curhat abis-abisan. Makanya gue bisa ngerti perasaan orang kayak June. Eh, sebenarnya di rumah Kak Marsya juga nggak berhenti baca komik. Tapi nggak apa, asal Kakak seneng gue juga seneng.” Rio tersenyum. Aku pun ikut tersenyum. Rio memang sayang banget sama Kakaknya. Karena dari dulu, Kakaknya yang selalu merawatnya. Mama dan Papa Rio sibuk bekerja jadi yang selalu menemaninya supaya nggak sepi adalah Kak Marsya.
“Oke, thanks ya Ri!”
*~*~*
“Y-yo!” sapaku pada June yang sedang melihat-lihat komik di rak komik toko buku. Mata June melebar begitu melihatku. Lalu perlahan-lahan, ia berjalan sedikit-sedikit agak jauh dariku.
“A-ada apa, Kak?” tanyanya terdengar sangat ketakutan.
“Eh? Lo tau gue kakak kelas lo?”
Ia mengangguk. “A-aku tanya sama temenku. Kakak terkenal di sekolah. Namanya Kak Daniel Zueno kan?”
Secercah perasaan senang melanda hatiku. Kusadari wajahku memerah. Buru-buru aku membuang muka. “Oh.. iya..” ternyata begini ya perasaannya kalo cewek yang kusuka menyebutkan namaku?
Otakku tiba-tiba kembali mengingat kejadian tadi. Buru-buru kutanya sebelum June berhasil kabur karena daritadi cewek ini mencoba pergi diam-diam. “Eh, oh iya!” tanpa kusadari kutahan tangannya. Wajah June langsung memerah. Wah, sebenernya dia cewek yang polos ya?
“Emm.. tadi.. kenapa lo langsung kabur gitu aja? Terus.. lo kenapa kayaknya ketakutan banget? Apa ada yang salah?” tanyaku.
“Eng.. itu… itu.. aku.. aku cuma.. cuma!”
“Malu kan?” tebakku. Wajahnya lagi-lagi bersemu merah. Bulls eye. “Tenang aja.. sebenernya komik yang lo baca itu.. lumayan menarik kok?” …HAH, barusan bilang apa? Bego! Entar disangka lo tukang baca komik cewek!
“Kakak baca juga?” June terdengar kaget.
“Eng.. pu-punya adek gue! Iya, cuma karena waktu itu lagi bosen, gue coba pinjem aja. Terus gue baca. Kata gue sih yaa.. lumayan juga.” Aku menggaruk tengkuk leherku. Sebenernya aku malah kebawa suasana baca tuh komik!
Terdengar suara tawaan kecil dari June. Mataku langsung melebar begitu melihat cewek di depanku tertawa. Biasanya aku hanya melihatnya tertawa kadang-kadang dan dari jarak jauh. “Ha.. haha.. aneh ya?” aku cengengesan.
“Nggak.” June menggeleng. Ia menatapku tepat di mata sambil tersenyum. “Unik.”
Kusadari wajahku memerah. Buru-buru kualihkan pandanganku. “O-oh ya? Gue kira lo bakal kaget kalo tau gue baca komik cewek. Yaah.. sebenernya sih, gue suka baca juga. Cuma bukan baca komik cewek. Gue suka baca buku tentang pesawat! Gue pengen jadi pilot!” semangatku membara begitu menceritakan tentang pesawat. Rasanya dengan mudah aku bisa mengobrol dengan cewek ini.
“Waah! Nggak kusangka Kakak suka baca tentang pesawat! Papaku juga suka pesawat, tadinya dia juga pengen jadi pilot, cuma karena papa anak cowok satu-satunya yang dimiliki nenek, papa nggak boleh jadi pilot! Aku punya lho.. beberapa buku tentang pesawat!” June ikut membahas. Tatapan dinginnya mencair menjadi tatapan hangat. Senyumnya tak lepas dari bibirnya.
Aku tersenyum. Kuulurkan tanganku untuk dijabat. “Mau nggak lo jadi temen gue?” tawarku. Kuharap dia mau menerimanya.
June terdiam sejenak. Keringat mulai membasahi pelipisku. Padahal AC di toko buku sangat dingin dan mustahil membuat orang yang di dalamnya berkeringat. Aku diam-diam menghela nafas lega begitu June menerima uluran tanganku dan menjabat tanganku dengan senyum di bibirnya. “Mau!” serunya.
“Okee! Lo ngomongnya biasa aja, nggak usah pake aku-kamu. Pake gue-elo aja. Eh iya, minta pin bb dong!” kata-kata itu tanpa sadar keluar dari mulutku. Aku yang baru sadar buru-buru menutup mulutku. Tapi June dengan santainya memberikan aku pinnya. Yahh.. kurasa aku harus lebih berani.
Senyumku pun tidak bisa kutahan. Dengan perasaan senang yang meluap, kuusap-usap rambut June sambil tertawa. “Okeee! Mulai sekarang kita teman ya!”
Dan itulah awal pertemanan kami.
*~*~*
“June! Sepulang sekolah mau mampir ke toko buku dulu?” tanyaku menghampiri June yang sedang makan sendiri di salah satu meja di kantin.
“Lo ini nanya mulu, Dan. Emang tiap hari kita kesitu kan!” June mendengus, berbicara dengan ketus. Tapi itu tak kuhiraukan. Hmm.. ngomong-ngomong.. kalau dipikir-pikir sudah empat bulan sejak kami memulai pertemanan kami.
“Yaa… siapa tau elo ada acara mungkin?”
June menghela nafas. “Gue nggak pernah ada acara, Dan.” June tersenyum dan bangkit dari kursi. Kulihat makanannya sudah habis dilahap olehnya. “Gue selalu bebas. Jadi kapan aja kalo lo ngajak jalan gue bisa.”
Aku menaikkan sebelah alis. Ini dia yang bikin aku bingung. Setiap kali jalan, June selalu ada waktu luang. Kalau kata teman sekelasnya, June tinggal sendiri di apartemen. Kalo soal ortunya, sama sekali nggak ada kabar. Dan June juga nggak pernah bercerita tentang ortunya.
Langkah June sudah mau sampai keluar dari kantin, buru-buru aku menghampirinya dan menahannya. June menoleh. Sebelum dia bertanya aku buru-buru memberitahu alasanku. “Gimana kalo Sabtu ini kita jalan? Lo mau pergi kemana gitu nggak?” tawarku. Oh ya, aku belum bilang. Selama empat bulan ini juga perasaanku pada cewek ini bertepuk sebelah tangan. Makanya rencananya hari Sabtu nanti aku mau ngajakin dia jalan alias dating!
June berpikir sebentar. “Mmm.. ada sih, tepat yang pengen gue datengin..”
“Nah! Boleh tuh! Dimana?”
“Emm… ta-taman bermain..” June menundukkan kepala dalam-dalam. Kurasa dia malu memberitahunya. Tapi kenapa harus malu ya?
“Ooh! Boleh! Gimana kalo entar gue jemput lo di apartemen lo jam sepuluh?” tanyaku menjentikkan jari.
June menaikkan sebelah alis. “Gimana lo tau kalo gue tinggal di apartemen?”
A-aduh keceplosan… pikirku menutup mulut. June menatapku sambil menyipitkan matanya tambah curiga. “Ada yang bilang gitu. Katanya lo tinggal sendiri. Emangnya ortu lo kemana?” aku serasa mau mati saja begitu sadar dengan apa yang kukatakan!
June diam terpaku. Kepalanya terus menunduk, menatap lantai. “…Nggak tau…” June menjawab lirih. Suaranya bergetar. “Selama ini gue cuma tinggal sendiri.” Kepalanya tiba-tiba terangkat. Ia menatapku dengan wajah datar. Ia pun berbalik. “Dan gue udah terbiasa dengan itu.” June lalu berjalan kembali menuju kelasnya.
Aku tau, aku sadar. Cewek itu sebenarnya bersikap sok kuat di depanku. Matanya tadi.. aku sadar kalau sebenarnya dia sudah berkaca-kaca. Tapi ia terus bertahan dan bersikap seperti biasanya. Harusnya tadi gue meluk dia ato gimana biar dia lebih enakan… aku menatap tanganku dan mengepalnya.
*~*~*
Hari Sabtu, pukul sebelas siang di Taman Sun…
“Huwaaaa! Keren bangeeet! Akhirnya! Akhirnya! Akhirnyaaaa! Bisa kesini jugaaa!” June langsung ngibrit lari dan menghampiri beberapa toko kue dan permen yang tersedia di Taman Bermain Sun. Aku benar-benar kaget dengan perubahan sikap June saat di sekolah dan disini. Di sekolah biasanya dia dingin dan datar, giliran di toko buku, disini, dia berlagak seperti anak kecil. Benar-benar riang.
Ngomong-ngomong, saat aku menjemput June di apartemennya, aku sama sekali nggak nyangka apartemen elit yang ia tinggali. Kukira yang… engg.. yaah, standar gitu buat anak SMA? Aku heran dapat darimana uangnya untuk membayar biaya apartemen. Tapi pertanyaan itu terjawab sudah karena tadi aku kelepasan ngomong. Dia bilang itu dari orang tuanya. Setiap bulan, orang tuanya mengirimi dia uang dengan jumlah yang sangat besar.
“..Niel! Daniel!” panggil June mengibas-ngibaskan telapak tangannya depan mukaku. Aku langsung tersadar dari lamunan.
“Eh, sori. Kenapa?” tanyaku ikut berjalan mengikuti June yang ternyata sudah beli permen kapas dan beberapa permen manis.
“Hari ini mau coba wahana apa aja?” tanya June semangat sambil mencomot permen kapasnya dan mengunyahnya.
“Hmm.. kata Rio sih, yang bagus tuh wahana kincir raksasa, mirror house, rumah hantu…”
“Kok kayaknya wahana buat pasangan semua ya?” tanya June membuatku tersadar. Iya juga ya? Kalo dipikir-pikir itu kan buat pasangan? Kalo mirror house, biasanya pasangan itu berpegangan  tangan dan melakukan hal mesra karena mereka di ruangan sendiri. Kalo kincir raksasa biasanya melihat sunset dan itu juga cukup popular di kalangan pasangan. Begitu pun rumah hantu. Kalo si cewek takut, biasanya dia refleks langsung lompat ke si cowok. Dan mulai deh, malu-maluan. Aku membalikkan badan dan mengepal tangan kuat-kuat. RIOOOO!
“Eh, tapi kalo Daniel mau ke wahana itu sih, gue nggak masalah kok!” June buru-buru menambahkan begitu melihatku berpikir keras.
“Hmm.. ah!” seruku menjentikkan jari. “Gimana kalo naik roller coaster dulu?” tanyaku sambil menunjuk wahana roller coaster yang cukup ramai.
Mohon tunggu sebentar…
“HAH.. HAH.. HAH…”
“So-sori, June! Gue kira elo nggak papa naik wahana itu! Abis lo diem aja!!” aku memberikan June yang masih ngos-ngosan dan wajahnya yang pucat itu segelas teh dingin. Nafasnya masih belum stabil. Sepertinya dia takut naik wahana seperti roller coaster, kora-kora, tornado.
“G-g-gue udah nggak bisa bereaksi lagi pas naik wahana itu makanya jadi diem aja..” June meneguk minumannya sampai setengah habis.
“Sori banget sumpah! Maaf banget! Gini deh, elo aja yang milih entar kita mau kemana, oke? Sekarang elo istirahat dulu.” Aku duduk di sebelah June dan menepuk-nepuk pangkuanku.
June menatapku bingung. Alisnya naik sebelah. “Kenapa?”
“Maksud gue lo tidur di pangkuan gue dulu. Emang lo udah nggak pusing?” yaa.. meskipun malu memintanya untuk tidur di pangkuanku, tapi nggak apa deh asal keadaan dia membaik. Lagipula aku harus lebih berani kan, jadi cowok?
Wajah June memerah. Aku terkekeh. Wah, dia malu. “A-apa? G-gue udah nggak pusing kok! Nih!” June berdiri dan tiba-tiba terhuyung. Buru-buru kutahan dan kutarik dia untuk tidur di pangkuanku.
“Jangan sok kuat deh.” Aku tersenyum menatapnya yang wajahnya makin merah. Kalo liat dia kayak gini aku jadi pengen jahilin dia lebih dari ini.
June membuang muka dan mencibir. “Ya-ya habis…”
Aku tertawa kecil. Kuusap-usap kepala June. “Udah, lo tidur dulu aja. Istirahat sana.”
“Nanti kalo keterusan gimana?!” tanya June jadi panik.
“Gue banguninlah. Udah buruan tidur! Mumpung masih banyak waktu.”
“Ya-ya udah! Met tidur!” salamnya lalu menutup matanya perlahan.
Aku tertawa kecil. Ternyata June itu orangnya pemalu. Mudah tersipu. Aku terus tersenyum menatapnya sampai ia tertidur pulas.
*~*~*
“Huwaaaanggg!! Daniel bego! Dodol! Kenapa elo nggak bangunin gue sih?! Akhirannya elo malah ikut tidur! Dan kita bangun pas jam lima! Mau coba apalagi hah?! Hampir semuanya udah tutup!” June mengomel panjang lebar begitu kami terbangun dari tidur karena dibangunin petugas taman bermain. Begitu bangun, waktu ternyata sudah menunjukkan pukul lima sore.
Aku menghela nafas. “Yaaa mau gimana lagi? Abis pewe sih.” Mataku diam-diam melihat ke kanan dan ke kiri. Mencari wahana yang masih bisa dinaikin.
Seiring June yang terus mengomel, akhirnya aku menemukan satu wahana. Sebenarnya wahana ini tidak terlalu memacu adrenalin. Tapi ya sudahlah. Paling nggak ada satu yang bisa kita naikin. “Heh, June,” panggilku.
June menoleh dengan tatapan sewot. “Apa?”
“Ada satu wahana tuh, yang masih buka.”
“Hah? Serius?! Mana?!” June langsung menoleh ke kanan dan ke kiri, mencari wahana yang kumaksud.
Aku menepuk-nepuk pundak June. Ia menoleh dan mengikuti arah jari telunjukku. “Yang ada cuma kincir raksasa.”
June berpikir sejenak. “Hmmm… nggak papa deh! Lo mau kan? Gue sih mau-mau aja! Mumpung mau sunset nih! Lagi sepi juga!” sebelum aku sempat menjawab, June cepat-cepat berlari ke wahana itu. Aku pun berjalan mengikutinya dan masuk ke dalam salah satu gondola kincir raksasa.
“Uwaaaah!! Pemandangannya keliatan banget lho! Keliatan!” June menunjuk-nunjuk ke arah pemandangan dari atas kincir.
“Iya…” aku menatapnya sejenak. Kayaknya cewek ini seneng banget. Padahal tadi dia yang bilang kalau kincir raksasa biasanya wahana untuk pasangan. Tapi dia mau-mau aja tuh? Eh, sebenernya dia juga nggak bilang nggak mau sih ya…
“Heh,” panggilku.
“Hm?” dia sama sekali tak menengok, tapi bereaksi.
“Elo pertama kalinya naik wahana ini?”
Kali ini June menoleh. Ia menatapku dengan senyum yang susah kuartikan. June lalu menatap kakinya yang ia main-mainkan. “Yaah.. kira-kira menurut lo gimana?” ia balas bertanya tapi sama sekali nggak menatapku.
“Dari reaksi lo sih… kayaknya ini pertama kali,” jawabku memutuskan.
June tersenyum. Ia mengangkat kepalanya dan tersenyum padaku. “Benar.” Kepalanya ia miringkan sedikit. Matanya menatap pemandangan yang terlihat dari pintu kaca gondola. “Ini pertama kalinya gue naik kincir raksasa. Dan… pertama kalinya ke taman bermain.”
Aku menatap June meminta penjelasan yang lebih mendetil. Tapi yang kudapatkan hanyalah seulas senyum. Yang dipaksakan. “Emang lo nggak pernah kesini ama ortu lo?”
June kembali sibuk memandang-mandang. “Nggak.” Ia menggeleng pelan. “Bokap gue sibuk. Nyokap gue juga sibuk. Selama ini gue selalu idup bareng buku-buku gue. dengan buku-buku gue, gue merasa masuk ke dalam cerita itu. Gue merasa diterima. Gue merasa dibutuhkan. Karena penulis tanpa pembaca sama saja bohong kan?”
“Hmm.. tapi paling nggak lo bisa bikin temen kan? Kayak sekarang. Sekarang lo punya gue kan?” aku berdiri dan duduk di sebelah June yang masih melihat-lihat pemandangan. Tapi sebenarnya aku sadar dari kaca, aku dapat melihat dirinya yang sedang menahan tangis. Aku tersenyum. Kutarik kepalanya pelan-pelan dan kusenderkan di dadaku. “Nggak usah lo tahan nangis lo.” Berikutnya kupeluk June yang menangis dalam pelukanku.
“Ma-makasih ya, Dan.. gu-gue.. hiks.. bener-be-bener bersyukur.. bisa.. hiks.. bisa ketemu.. hiks.. ama elo… hiks..” katanya di sela-sela tangisannya.
“Hahaha.. sama-sama.” Aku mengusap-usap kepalanya pelan. “Oh iya, kita udah mau sampe puncak lho? Mau lihat sunset nggak?”
“MAU!” June langsung menarik kepalanya dan menghapus air matanya. Ia langsung menatap ke luar jendela. Bibirnya tak berhenti tersenyum dan terkagum-kagum begitu melihat sunset.
Aku tersenyum. “June, kalo lo mau cerita, cerita aja sama gue. Gue bakal siap dengerin lo kok.”
June menoleh. Ia tersenyum lebar. “Yes sir!”
“Bagus!” aku mengacak-acak rambutnya dengan senang.
*~*~*
Prince Daniel Zueno!” panggil suara yang benar-benar kukenal. Orang itu sedang berjalan ke arahku yang sedang duduk di tempatku di kelas saat pulang sekolah. Ia lalu duduk di depanku dan senyam-senyum padaku.
“Siapa yang lo panggil Prince, hah?” aku mengerutkan dahi. Enak aja dipanggil prince. Ya mungkin bagi beberapa cowok ada yang mau dipanggil prince, tapi aku tidak.
“Daniel Zueno, pangerannya Putri June Shiorra. Eiisshh~ hahay!” Rio menepuk bahu sebelah kiriku. Aku hanya mendengus dan menatapnya sambil geleng-geleng.
“Ngapain lo masih disini? Blom pulang?”
“Blom. Hari ini gue ada ekskul basket.”
“Oh iya ya.” Aku baru ingat kalau hari ini hari Kamis. Biasanya kalau hari Kamis ada ekskul basket. Rio salah satu anggota tim basket. Dia masuk tim inti. Malah kapten basket putra.
“Eh, ngomong-ngomong, gimana kencan lo sama June? Lancar nggak?” tanya Rio cengangas-cengenges. Dia pasti berpikir, rencananya berhasil.
Aku berdecak. “Apanya yang berhasil? Justru sebaliknya! Gatot! Gagal total! Setelah naik roller coaster, June pusing dan gue suruh tidur. Eh taunya gue ikut ketiduran juga. Ampe jam lima pula!”
“BEGOOOOO!!” Rio langsung memukul kepalaku. “Elo ya! Udah gue kasih usulan wahana-wahana romantis juga! Terus gimana? Abis itu kalian pulang?”
“Yaa.. nggak..”
Rio menaikkan sebelah alis. “Terus?”
“Kita naik kincir raksasa.”
Wajah Rio langsung dihiasi dengan senyuman dan matanya berbinar-binar senang. “Terus?! Apa.. apa mungkin.. apa jangan-jangan.. elo… elo udah… pas sunset… elo…”
“Heh, denger ya, gue nggak ngelakuin apa-apa sama dia.” Bener-bener otaknya Rio. Dia mikir apa sih ampe kayak gitu? Padahal dia tau aku orangnya seperti apa kan.
“Hmm.. ya udah deh! Nggak papa kok, Dan. Ini baru yang pertama. Tenang aja, entar kencan berikutnya, bakal gue bantuin juga!” Rio beranjak dari kursi. Ia berjalan ke arah mejanya dan mengambil tasnya.
Aku menaikkan sebelah alis. “Lah, mau kemana lo?”
“Lo nggak liat gue ngapain apa? Ya mau pulanglah! Emang lo kira sekarang jam berapa?”
“Oh, gue kira tadi elo kesini pas lagi break time.” Aku pun mengecek jam tanganku. Mataku melotot begitu melihat waktu telah menunjukkan pukul lima lewat enam belas menit. “Gue telat!!” aku langsung berlari keluar kelas tanpa menghiraukan pertanyaan Rio.
Bego! Aku nunggu di sekolah sampe sore ada alasannya. Karena pengen jemput June dan pulang bareng dia. Tapi hari ini dia ada ekskul seni. Jadi kutunggu sampai dia selesai. Masalahnya klub seni sudah keluar enam belas menit yang lalu! Apa June masih nunggu ya? Tadi sih aku udah bbm dia.
“Hah.. hah..” aku mengetuk pintu ruang klub seni. Pintu dibuka oleh ketua klub.
“Ah, Kak Daniel. Cari siapa, Kak?” tanyanya datar.
“June.. June Shiorra masih ada?” tanyaku masih terdengar ngos-ngosan.
“June? Cewek itu udah pergi dari jam lima. Dia keliatan buru-buru banget.” Ketua klub meletakkan jari telunjuk dan ibu jarinya di dagunya, berpikir.
“Kalo gitu, thanks!” aku langsung berlari lagi. Aku nggak tau pasti kenapa June buru-buru gitu, tapi aku tahu kalo ada sesuatu yang nggak beres. Soalnya kemarin sepulang dari taman bermain, June curhat padaku habis-habisan. Jadi biasanya walaupun dia dalam keadaan terburu-buru dia pasti bbm aku. Tapi kenapa hari ini nggak?
Perasaan tidak enak mulai melanda hatiku. Aku menambah kecepatan berlari. Pertama-tama aku berlari menuju toko buku yang lebih dekat dengan sekolah, baru setelah itu menuju apartemennya.
Begitu sampai di toko buku, aku langsung berlari menuju rak komik. Tapi sosok June sama sekali tidak tertangkap mataku. Dia tidak ada disana. Mataku malah menangkap sebuah komik. Aku mengambilnya dan menatapnya. Volume enam… dengan cepat aku mengambil dua komik yang sama dan membayarnya di kasir, lalu berlari lagi keluar dan mencegat taksi.
*~*~*
Tok tok tok…
“Masuk.”
Ceklek. Pintu apartemen June dibuka olehku. Kamarnya sangat gelap. Sepertinya June mematikan lampu kamarnya. Lebih dari itu, aku tidak terlalu bisa melihat apa yang ada di depanku. Makanya aku berjalan hati-hati sambil meraba-raba. “June, lo dimana?”
“Daniel? Ngapain lo disini?” suara June terdengar agak jauh. Pertama kali aku kesini, aku langsung bisa hafal letak tempat-tempatnya. Kutebak June sedang duduk di sofa dekat jendela. Karena ada anginnya yang menghembus dari depanku. June juga pernah bilang favorite spot-nya disitu.
“Gue nyariin elo tau. Lo kenapa nggak bbm gue?” tanyaku masih berusaha berjalan menuju sofa.
“Ah.. sori.. tadi gue ada.. masalah sedikit. Hehe.” June terkekeh. Aku tau sekarang pasti ada senyum yang menghiasi wajahnya. Tapi senyum itu bukan senyum tulus. Senyum yang dipaksakan.
Setelah mencoba berjalan tanpa dapat melihat, akhirnya aku sampai juga di sofa. Aku dapat merasakan June sedang duduk memeluk lututnya di sebelahku. Aku menyeka keringatku yang terus bercucuran dengan punggung tanganku. Kepalaku menatap ke atas meski aku sama sekali tidak bisa melihat apa-apa. “June.. gue kan udah bilang kalo lo ada apa-apa bilang aja sama gue…”
“Sori.” June hanya menjawab singkat. Setelah itu suasana berubah hening. Sama sekali tidak ada yang berbicara. June juga tampaknya enggan untuk memberitahu apa masalahnya padaku.
“June, cerita sama gue. Jangan lo pendam sendiri. Gue ada disini buat lo..” aku berusaha membujuk June. Meski aku nggak tau dia bakal mau atau nggak. Tapi tetap saja, paling tidak aku sudah berusaha.
“Daniel… gue pernah kan.. cerita sama lo.. kalo..” kata-kata June terdengar putus-putus. Aku nggak yakin apakah dia menangis karena aku sama sekali tidak mendengar suara isakan tangis. June pun melanjutkan kata-katanya. “Kalo gue nggak tau kapan.. ortu gue bakal mau ngambil gue lagi?”
“Ya? Kenapa dengan itu?” aku dapat mendengar jantungku berdegup dengan cepat. Bukan karena cinta. Tapi karena takut dengan apa yang berikutnya June katakan.
“Tadi..” June menggigit bibirnya. “Nyokap gue sms kalo mereka—bokap dan nyokap gue—dateng ke apartemen gue. makanya tadi gue buru-buru pulang. Setelah sekian lama.. akhirnya gue bisa lihat lagi muka ortu gue. padahal gue udah lupa muka mereka kayak gimana. Parah ya? Haha…”
“June, langsung aja ke pokoknya.” Aku sadar June tidak ingin mengatakan yang sebenarnya padaku. Tapi kalau begitu, aku tidak akan tau apa yang sebenarnya. Dan aku juga tidak bisa membantu.
“Gue.. urghh! Oke! Bokap dan Nyokap gue pisah!!”
Mataku membesar. “Apa..?”
“Nyokap gue sekarang tinggal sama nenek di sebuah desa. Bokap gue udah nikah lagi sama cewek lain. Dan bahkan cewek itu sudah punya anak dari suami sebelumnya. Lalu sekarang dia juga lagi mengandung! Dan sekarang!! Gue…” June terdiam. Dia keberatan untuk memberitahu lanjutannya. “Gue harus ikut bokap dan tinggal di rumah bokap di luar negeri..”
“Jadi gue nggak bisa ketemu lo lagi?”
“Nggak.” Sekarang terdengar isak tangis dari arah June. Saat aku menyentuh pipinya, bulir-bulir air mata jatuh dan mengenai tanganku. Air matanya berjatuhan dengan deras. “Da-Daniel.. denger.. gue udah coba bilang bokap gue kalo gue bisa tinggal disini sendiri. Tapi… tapi… bokap gue… hiks.. maaf…”
“Nggak papa kok, June.” Tanganku terangkat untuk menghapus air matanya yang terus berjatuhan. Lalu kupeluk erat tubuh June yang ternyata gemetaran. “Gue akan selalu bbm lo. Sms lo. Telpon lo. Kalo perlu, pas gue lagi ada waktu luang, gue bakal jenguk lo dimanapun lo berada.” Aku tersenyum. “Jadi, jangan nangis.”
“E-emang lo nggak kangen nanti sama gue?” tanya June masih terisak-isak.
“Jelas kangenlah. Karena gue… gue suka sama lo June.” Akhirnya terlontar juga kata itu. Setelah lama menyembunyikannya, lega juga akhirnya.
June menarik kepalanya dan menatapku tak percaya. “Lo suka..?”
“Gue suka lo,” ucapku tersenyum. “Sejak pertama liat lo di toko buku, gue tertarik sama lo.” Aku memeluk lagi tubuh June yang masih kaku. Pasti kaget karena tiba-tiba dapat sudden confession dariku.
“…Ka… Gue.. juga suka lo, Dan.” Mataku melebar. Aku terperangah kaget, sama sekali tidak bisa mempercayai pendengaranku. June suka aku? Ba-bagaimana?
“Sejak kapan?” tanyaku mengerutkan dahi.
June terkekeh. “Sejak pertama liat lo di toko buku juga.” Ia tertawa kecil. Mulutku semakin lebar saja begitu mendengar jawaban June yang sama denganku.
“Jadi kita sama-sama tertarik…?”
June masih saja tertawa. “Benar.”
Aku tersenyum. Kucubit pipinya. Ternyata dia sudah berhenti menangis. “Berarti sekarang kita pacaran dong, ya?” aku mendekatkan wajahku pelan-pelan.
June yang menyadarinya menundukkan kepalanya malu-malu. “Pa-pacaran…?”
“Kan kita saling suka..” aku semakin mendekatkan wajahku pada wajah June.
“Ta-tapi kan aku mau pergi jauh…?” June terus menundukkan kepalanya. Ia menggigit bibir.
“Gue kan udah bilang.. gue bakal bbm lo.. nelpon lo.. dan sms lo.. bahkan jenguk lo…” terus kudekatkan wajahku pada wajah June. “Lo jangan nunduk terus dong. Gue mau nyium jadi susah kan?”
June langsung mengangkat wajahnya dan melotot kearahku. Aku dapat mengetahui itu semua padahal lampu masih tetap mati. Kurasa karena sekarang lagi bulan purnama dan bulan itu sedang bersinar terang jadi aku dapat melihat wajah June yang memerah.
“Hmm? Lo nggak mau dicium?” tanyaku mencangkup dagunya.
“Da-Daniel jahat!!” rutuknya.
“Gue jahat? Oh ya?” berikutnya June diam dan membalas tatapanku. Wajahnya terus merona merah. Aku tersenyum dan mendekatkan bibirku dengannya.
“Sekarang kita pasangan!” seruku lalu memeluknya erat.
Tanpa kusadari, June tersenyum. “Selamanya ya..”
Aku terkekeh. “As you wish, my lady.”
*~*~*
Beberapa tahun kemudian…
“Hooiii!” seseorang berjalan ke arahku sambil senyam-senyum. Ia menepuk bahuku pelan. Aku menoleh dan mendapati Rio dengan setelan jasnya tersenyum jahil padaku. “Setelah lama menunggu, akhirnya menikah juga ya?”
“Heh, bener juga.” Aku mengangguk pelan sambil membetulkan dasiku.
“Eh, ngomong-ngomong gue denger elo kagak jemput dia di bandara, bener?” Rio memukul punggungku sambil mengerutkan dahi. Aura marahnya mulai kurasakan.
Aku tertawa misterius. “Tenang aja, Ri. Gue berbuat kayak gitu, supaya bikin dia penasaran kayak gimana gue sekarang.”
Rio mendengus dan menggeleng-gelengkan kepalanya. “Bener-bener ya lo… lo tuh dari dulu kagak berubah! Tetep aja error! Cuma tampang yang bisa elo andelin,” ejek Rio.
“Heh sialan! Elo sendiri? Gimana tuh, sama tunangan elo?” aku terkikik pelan mengingat beberapa bulan yang lalu Rio ditunangkan dengan cewek pilihan mamanya yang ternyata anak sekolah kita juga. Seumur-umur Rio nggak pernah sekali aja pacaran dengan serius. Makanya pas tiba-tiba ditunangin Rio menolak keras. Tapi mamanya langsung ngamuk dan akhirnya Rio nggak bisa menolak.
“Haahh.. tau deh. Udah yuk, cepetan sana keluar!” Rio mendorongku keluar dari ruang ganti mempelai pria dan berjalan bersebelahan denganku ke gedung pernikahan.
Begitu sampai disana, June belum datang. Kurasa dia masih dandan. Paling sebentar lagi datang. Ibuku menghampiri dengan air mata bahagia mengaliri pipinya. Ia memelukku erat. “Ibu sama sekali nggak nyangka kamu udah gede, Daniel…”
“Ibu… aku pasti bakal sering-sering jenguk Ibu kok…” aku tersenyum dan memeluk balik Ibu yang masih menangis tersedu-sedu.
Ella yang ternyata berdiri di belakang Ibu pun kulihat juga sedang menangis. Jadi ia bersembunyi di belakang Ibu supaya nggak keliatan aku. Aku melepaskan pelukan Ibu. Begitu aku melihatnya dan dia menyadarinya, Ella langsung berdiri di depanku sambil berusaha terlihat kuat. “Kak.. Kakak jaga baik-baik Kak June lho yaa! Hiks.. terus.. huwaaaa! Sering-sering dateng ke rumah ya, Kak… entar sepi nggak ada Kakak… huwaaa!” Ella langsung memelukku erat.
Kupeluk balik dan kuelus-elus punggung Ella sambil tersenyum. “Kakak bakal dateng ke rumah terus kok… jaga Ibu dan Ayah baik-baik ya?” Ella pun mengangguk.
Kini Ayah yang mendatangiku dengan senyum bangganya menghiasi bibirnya. Ayah menepuk pundakku pelan. “Nak, jaga dia baik-baik.”
“Pastinya, Yah..” aku mengacungkan ibu jariku. “Makasih buat selama ini ya, Yah..”
“Sama-sama.” Ayah tersenyum.
Aku pun berjalan menuju kursi yang tersedia untuk mempelai pria dan wanita. Di seberang, pak ustadz dan Ayah June sudah duduk.
Pintu gedung dibuka. Semua menoleh ke arah pintu. June, dengan gaun putih panjangnya berjalan masuk dengan senyum menghiasi bibirnya. Dia sama sekali tidak berubah. Tetap manis, cantik, hanya semakin tinggi saja.
“June…” gumamku tersenyum.
“Daniel..!” June setengah berseru. Ia lalu duduk di sebelahku dan kami saling bertukar senyum. Lalu pernikahan kami pun dimulai…
*~*~*
Dua tahun kemudian…
“Serra! Kamu ngapain sihh??” June mengangkat Serra yang ternyata sedang mengobrak-abrik sebuah boks di kamar kami. Aku yang baru bangun masih setengah tidur jadi tidak terlalu memperhatikan.
“Engg… ada apaan sih, June?” tanyaku bangkit dari tempat tidur dan berjalan mendekatinya.
“Ini nih.. Serra ngobrak-ngabrik boks yang belom kebuka.” June memberikan sebuah botol susu pada Serra supaya anak kami yang berumur satu tahun diam.
Aku berjalan menuju kamar mandi dan membasuh muka serta sikat gigi. Lalu balik lagi ke kamar dan menemukan tumpukan komik yang dulu kubaca sama seperti yang June baca. Aku langsung melotot. ITU KAANN!!
“Tu-tunggu! Itu!”
June menoleh padaku dan menatapku tak percaya. “Ini punya kamu?” tanyanya sambil mengangkat komik yang kubaca dulu.
Aku terkekeh. “Y-yaa.. gini deh.. kujelaskan..”
Akhirnya kujelaskan yang sebenarnya pada June. Begitu selesai kujelaskan, June tertawa terbahak-bahak. Ya.. dia sudah lebih jujur daripada yang dulu. Reaksinya sama persis dengan Ella, adikku.
“Serius nih?! Ya ampun.. kamu tuh yaa…!” June masih terus tertawa sementara aku main saja dengan Serra. Aku sadar, wajahku memerah karena malu.
“Ya habis gimana? Aku kan mau tau kenapa kamu seneng banget baca komik itu.” Aku memeletkan lidahku.
“Hmm.. tapi jadi inget dulu ya?” June tersenyum lebar. Ia mengeluarkan seluruh komik yang kusimpan dalam boks itu. Sebenarnya aku sendiri nggak sadar kalo aku membawa boks itu kesini dan menyimpannya. Aku menyipitkan mataku. Jangan-jangan… Ella!!!
“Eh? Lho? Kamu punya yang ke-enam?!!!” June langsung teriak sambil mengacungkan komik volume ke-enamnya. Aku dan Serra terlonjak kaget. Aku hanya cengengesan sementara Serra nangis gara-gara itu. Aduh, seriusan! Aku lupa kalo punya yang ke-enam!
“Aduh.. maaf Serra… mama ngagetin kamu…” June menggendong Serra dan memberikan botol susunya. Serra langsung diem lagi. Kini matanya menatap tajam ke arahku. “Nah, sekarang kamu jelasin kenapa bisa punya yang ke-enam!”
Aku menghela nafas. Aku ingat, waktu itu aku beli dua komik volume enam. Yang satu untukku, yang satu lagi untuk June. Kuambil komik itu dari boks dan kuberikan pada June. June menatapku minta penjelasan. “Waktu itu pas keluar, aku juga beliin untuk kamu. Tapi aku lupa. Jadi… gini deh… hehe..”
June tersenyum. “Makasih!” ia memelukku erat.
“Sama-sama.” Aku balas tersenyum. “Ngomong-ngomong aku belom baca sampe sekarang. Kelupaan sih…”
“Kita liat akhirannya aja yuk?” ajak June. June langsung membalik halaman pada halaman terakhir. Ternyata pasangan itu juga menikah! Sama seperti kami. Lalu tiba-tiba aku dan June menyadari sesuatu. Kami saling bertatapan. Ternyata selama ini, alasan mengapa kami sama-sama suka dengan komik ini.. adalah karena ceritanya mirip dengan hidup kami!
~THE END~
 
 
Sumber: http://starwitchprincess.wordpress.com/2012/07/09/the-bookstore-girl-one-shot/
 
 
 

Percobaan [@henzmoro]

Follow me @henzmoro